사람 pt. 2

Hi J, apa kabar? Semoga kau selalu diselimuti kebaikan.

Kebetulan sekali sekarang aku sedang mendengarkan soundtrack Ghibli "If Wrapped in Kindness".

Belakangan aku sering sekali mendengarkan lagu-lagu Ghibli untuk meromantisasi hariku, supaya tidak terlalu kelabu dan mati.

Hatiku masih sama seperti dulu, masih senang menghayal sambil memandangi Bulan ketika di jalan pulang. Bulan juga tidak berubah ya, J, masih tetap cantik meski bertambah tua seperti kita.

Kalau kau disana sudah menemukan jawaban, bolehkah tolong kabari aku? Soal apa sebenarnya yang harus kukejar.

Belakangan ini aku benar-benar tidak lagi punya tujuan, atau mungkin aku lupa? Entahlah. Waktuku amat banyak tersita oleh hal-hal yang tidak kusukai. Mungkin akan terdengar seperti beralasan saja kalau kubilang aku sudah jarang sekali ada kesempatan untuk bermenung dan bermimpi seperti yang sering kita lakukan dulu. Tapi akhirnya sudah kuputuskan untuk menyuratimu sesekali, setidaknya biar aku tak lupa caranya bermimpi.

Kalau sempat tulislah balik untukku.


***


J!

Di tempatmu yang kau banggakan itu sudahkah ada waktu-waktu yang boleh dihabiskan dengan sia-sia?

Semua wajah yang kutemui disini mengerikan, benar-benar tidak ada harapan. Sekarang aku paham kenapa kau bersikeras pergi. Terkadang akupun berpikir untuk menyusulmu, tapi selalu ada saja yang menahanku (entah apalah).

Aku jadi berpikir, apakah bisa kita menyerah akan sesuatu yang tidak kita perjuangkan? Apakah menurutmu bisa begitu, J? Kurasa sangat menyedihkan dan tidak adil untuk merasa putus asa padahal kau tidak sedang menginginkan sesuatu. Tapi harus kuakui itulah yang menimpaku sekarang ini. 


***


J temanku, apakah kau pernah berpikir bahwa kebebasan adalah satu dari sedikit sekali hal-hal yang didambakan banyak orang, yang meski kau sudah memilikinya dalam waktu yang lama sekalipun kau tak akan dibikin muak olehnya?

Aku sering berandai-andai, apa kau disana sudah meraih kebebasan? Apakah memang ada yang namanya kebebasan itu? Tolong kabari aku jika sempat


***


Hai J, kabarku baik, semoga kau juga demikian.

Kali ini aku sedang mendengarkan "One More Light" (Linkin Park). Lagu ini mengingatkanku pada perkataanmu di suatu malam yang tenang setelah seharian kota diguyur hujan. Kau ingat waktu itu kita duduk-duduk di depan gedung kampus sambil mengamati langit yang bersih dan banyak bintang? Katamu "siapa yang peduli kalau kali ini ada satu lagi bintang jauh yang mati?" lalu kita hanyut dalam pikiran masing-masing sampai malam habis. 

Aku masih memikirkan soal apa yang mengusik kepalamu malam itu. Kuberitahu kau, J, aku bukan orang yang pandai menghibur terkhusus dengan kata-kata. 

Belakangan aku menyadari, kau sering betul berpura-pura seakan kau bukanlah bintang. Cahayamu sukarela kau redupkan. Kau mengasingkan diri ke sisi lain langit yang tidak bertepi. Tapi kuharap kau mengerti, meski keberadaan bintang-bintang hanyalah sekian dari milyaran lainnya, itu tidak menjadikannya hal yang buruk. Meski kepergiannya tak ada yang menyayangkan sekalipun, bukan berarti keberadaannya tidak layak dirayakan. Berbahagialah untukmu, temanku.


***


Hai J temanku. Desember sebentar lagi datang, itu membuat hatiku sedikit lebih tenang. Aku pelan-pelan bersahabat dengan kesepianku. Mungkin beginilah akhirnya caraku menjalani hidup. Tapi perlu kuakui bahwa ini ternyata tak buruk juga, memang ada kalanya aku merasa butuh ditemani meski masih lebih suka makan siang sendiri jika punya pilihan. Tapi kurasa pelan-pelan aku mulai mirip manusia (jika itu masuk akal).


Urusan pekerjaan membuatku merasa bodoh. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya aku memang selalu saja merasa bodoh dimanapun aku berada. 

Mau dengar sesuatu yang konyol? Berjanjilah kau hanya akan menertawaiku dalam hati dan tidak akan mengungkit ini kalau kita jumpa lagi nanti. Dua hari lalu aku terisak sampai muntah karena pekerjaan yang tak ada habisnya (kau tahu, aku bahkan tetap bekerja di akhir pekan!). 

Kau paham betul betapa ketidakadilan selalu menggangguku, tapi orang-orang lain tampaknya sama sekali tidak mempermasalahkan itu. 

Memikirkan sisa masa mudaku harus kuhabiskan seperti ini membuatku benar-benar mual dan pusing. Tolong jangan beritahu aku kalau yang namanya masa muda itu justru sudah kulewatkan.


***


J temanku, ada satu hal yang begitu menyita pikiranku belakangan ini. Usiaku sudah lewat setengah abad, namun begitu banyak hal yang belum aku alami dan pahami. Kurasa dunia ini terlalu luas untuk dijelajahi sendiri (dan seperti yang kau tau aku memang terlalu suka diam di rumah).


Tidakkah kau juga penasaran apakah rasa cinta dan dicintai bisa membuat hidup jadi lebih mudah untuk dijalani? Buatku yang namanya rasa cinta itu seperti dongeng dan legenda. Semua orang membicarakannya begitu saja namun bagiku itu terasa seperti suatu hal yang cuma karangan.


***


J,

Lucu sekali kalau kupikir-pikir lagi soal bagaimana adik-adikku sudah pandai menasehatiku soal ketenangan hati. Aku ini memang kakak yang payah, ya?

Bisa kubayangkan jika mendengar ini mereka tentu akan mengomel dan menceramahiku soal 'umur bukanlah ukuran yang adil'. Sejak kapan sih bocah-bocah manis ini tumbuh dewasa dan jadi bijaksana? Aku benar-benar sudah melewatkan begitu banyak hal ya?


***


Hai J

Sekarang tengah malam di tempatku, dan hari ini hujan lagi seharian. Harusnya ini jadi hari-hari yang menenangkan, tapi aku malah (lagi-lagi) kepikiran soal masa depan.

Setiap memikirkan masa depan aku selalu merasa takut,  ngeri. Entah bagaimana jadinya hidupku nanti. Makin hari aku semakin tumpul. 

Kau ingat dulu aku bermimpi jadi seorang penyair? Tepatnya, penyair yang lahir dari rasa kecewa dan kesedihan tak terperi. Dramatis benar, persis seperti yang kusukai.

Mimpi itu kupelihara begitu lama sampai-sampai aku masih belum rela merayakan kegagalanku meski arahku berjalan sekarang sudah jelas berlawanan. 

Katanya perlu keberanian juga untuk menyerah. Tapi aku ini penakut, tentu kau tau betul soal itu. 


Doa terbaik untukmu dan semua orang yang baik dan yang tidak baik. Semoga hari-hari kita selalu dimudahkan.


Tulislah balik untukku jika sempat.


***


Teruntuk J,

Tadinya kupikir aku sudah tak punya alasan lagi untuk terus dan tetap menyuratimu. Aku tau tulisan ini tak berbalas, meski kadang aku benar-benar mengharapkan untuk mendengar jawaban entah dari mana. Sungguh harapan yang konyol. Tapi semua harapan itu konyol, ya kan? 


***

Comments

Popular Posts