Skeptisisme Terhadap Pendidikan Tinggi


Sehari yang lalu saya mengikuti kelas Bisnis Digital dan Intelegensi Bisnis di kampus. Kelas ini diajar oleh dosen yang juga sekaligus seorang akuntan partner di salah satu perusahaan akuntan publik Big Four di Jakarta, Bapak Isnaeni Achdiat. Beliau adalah salah satu dosen favorit saya di kampus, karena cara mengajarnya menyenangkan dan tidak cenderung menggurui serta lebih menggunakan pendekatan knowledge sharing. Saya selalu mendapatkan insights yang menarik setiap kali mengikuti kelas beliau, walaupun mata kuliah yang diajar termasuk mata kuliah baru di FEUI.
Kebetulan topik dalam kuliah kemarin adalah mengenai reflective studies : How the Technology Can Support Accounting Professions. Seperti judulnya, topik ini membahas banyak hal terkait perkembangan teknologi dan implikasinya terhadap dunia bisnis secara umum, dan profesi akuntan secara khusus. Mulai dari bagaimana block chain mengancam pekerjaan akuntan yang sifatnya rutin dan administratif seperti melakukan input data transaksi sampai ke pengelolaan ledger, dan potensi-potensi automasi dalam prosedur penyusunan laporan keuangan lainnya. Poinnya adalah, di masa depan cepat atau lambat prosedur-prosedur pekerjaan dalam profesi akuntansi (dan juga profesi-profesi lainnya) akan segera tergantikan oleh komputer/robot/sistem yang terautomasi.

Lagi-lagi hasil dari mengikuti kuliah malam itu membuat saya bertanya-tanya dan tidak bisa berhenti berpikir skeptis tentang pendidikan di perguruan tinggi. Pertanyaan yang mengganggu pikiran saya adalah apakah pendidikan tinggi dan seluruh standar serta kurikulumnya saat ini cukup efektif untuk menunjang proses pembelajaran? Di masa depan, manusia akan bersaing dengan robot dan mesin ciptaan manusia itu sendiri. Namun saat ini, tidak semua perguruan tinggi terjamah atau mengajarkan kesadaran akan hal tersebut. Terbukti dari mata kuliah Bisnis Digital dan Intelegensi bisnis yang baru diadakan pada tahun ini di kampus saya yang adalah salah satu fakultas ekonomi dan bisnis paling maju se-Indonesia. Bisa bayangkan bagaimana universitas-universitas lainnya? Bagaimana tertinggal dan tidak sadarnya negeri ini akan bahaya dan ancaman teknologi, dan bagaimana jauh tertinggalnya sistem pendidikan kita dalam menunjang dan mempersiapkan anak-anak bangsa menghadapi ancaman teknologi tersebut?

Saya merasa ngeri. Saya sendiri tidak tau apa yang harus saya lakukan sebagai mahasiswa tanggung yang akan segera menyelesaikan studi tahun depan, untuk mempersiapkan diri saya.

Kelas BDIB memang mengajarkan kami, mahasiswa akuntansi, sekilas mengenai programming dengan perangkat sederhana python. Tujuannya bukan agar mahasiswa dapat jadi akuntan sekaligus programmer, namun lebih kepada memberikan pemahaman sederhana bagaimana sebuah program dirancang dan dikembangkan untuk menunjang suatu proses bisnis. Namun menurut saya hal ini tidak cukup. Kami perlu berlatih untuk berpikir kritis dan kreatif. Kami terlalu sibuk mempelajari teori pelaporan akuisisi intercompany yang adalah aturan-aturan baku dari maha mulia para penyusun dan penggagas IFRS dan PSAK. Saya tidak tau soal teman-teman seperjuangan, namun saya sendiri merasa kemampuan berpikir kreatif saya makin hari makin melemah dan sakit. Saya sulit memikirkan inovasi, pola pikir saya seperti sudah terbentuk untuk mematuhi dan mengacu pada aturan-aturan yang sudah ada. Sementara, jelas satu-satunya kesempatan dan kemungkinan yang tak akan dicuri oleh robot adalah proses dan pemikiran kreatif. Saya merasa sangat terancam. Saya tidak mau pikiran ini mati, kehilangan kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan. Di kampus, kami malah seperti dilatih menjadi robot yang menguasai kitab suci IFRS dan ISA. Kami tidak akan lulus jika mendapat nilai buruk dalam mata kuliah akuntansi keuangan lanjutan 1 dan 2 dan rekan-rekan sejenisnya. Kami disibukkan dengan mengejar target nilai batas kelulusan, sampai-sampai kami tidak sempat bernafas dan menikmati proses belajar itu sendiri. Kami seperti terdesak waktu dan target sehingga tak sempat melatih cara berpikir kreatif dan inovatif. Ditambah lagi, sistem penilaian dan batas kelulusan memaksa kami mempelajari semua hal dan membuat kami tidak sempat merasa penasaran dengan hal yang kami pelajari. Proses belajar di perguruan tinggi lama-kelamaan terasa seperti sebuah pekerjaan, bukan sarana menambah wawasan dan mencari ilmu pengetahuan lagi.
Saya bisa hitung dengan jari berapa jumlah kelas yang pernah saya ikuti dan membuat saya merasa pengetahuan dan wawasan saya bertambah setelahnya. Tidak banyak. Artinya, apa yang saya dapatkan di kelas-kelas lainnya? Nihil.

Pernahkah kalian langsung melupakan semua materi sebuah mata kuliah segera setelah kalian selesai dan keluar dari ruangan UAS? Hal ini sering terjadi pada saya. Saya yakin juga sering terjadi pada anda. Inilah gambaran permasalahan dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi yang membuat saya makin skeptis dan merasa bahwa sebaiknya saya belajar dari semua tempat lain saja, sementara kampus hanyalah sarana untuk mendapatkan gelar akademis.


Comments