Soal Duka dan Kepergian


Sekian menit yang lalu, baru saja seorang rekan kantor mengemas barang-barangnya dan pergi meninggalkan ruangan kerja kami dengan wajah basah oleh air mata.


--


Pagi ini, seperti biasa saya adalah orang kedua yang tiba di ruangan tim kami di kantor klien. Dan seperti biasa juga, Febra sudah sampai lebih awal dari saya. Kami bertukar sapa dan kemudian kembali pada kesibukan masing-masing. Biasanya, saya dan Febra memang selalu saling diam sampai dengan rekan lainnya satu-persatu berdatangan. Bukan karena pertemanan kami tidak menyenangkan, hanya saja Febra memang baru bergabung dengan tim ini 3 minggu belakangan sehingga tidak banyak hal yang bisa saya obrolkan dengannya sebab kami belum terlalu akrab. Biasanya kami cuma berbasa-basi soal cuaca yang sangat panas dan hujan yang tak kunjung turun, atau tentang macet dan lalu lintas jalanan yang dialihkan karena lagi-lagi mahasiswa atau serikat buruh demo di depan istana yang berlokasi sangat dekat dari kantor.


Beberapa saat dua rekan lainnya datang, bertukar sapa, dan kemudian semua kembali ke laptop. Tidak ada bahasan basa-basi hari ini, Kak Vito yang biasanya mencairkan suasana dengan jokes ala comic ibu kota pun belum panas mesinnya. Hening sekian lama, sampai Febra Nampak keluar ruangan untuk menjawab telepon. Kami cuek dan tetap fokus pada pekerjaan masing-masing. Masih tidak ada pembicaraan, ruangan masih sepi betul seperti tak ada kehidupan.


Tidak lama, sekelibat nampak Febra kembali masuk ruangan. Saya melirik sebentar dan kembali menatap laptop. Yang lain pun masih tak acuh. Alih-alih kembali duduk di kursinya dan menatap laptop juga, Febra malah mengemas barang-barangnya dan bersiap pergi. Heran, saya akhirnya menoleh ke arah dia kemudian menemukan Febra dengan mata merah dan wajah yang sudah basah oleh air mata. Refleks saya langsung menanyakan apa yang salah. Dia menjawab pelan dan ucapannya tak terlalu jelas awalnya. Ketika saya memastikan ulang jawabanya tersebut, saya memperhatikan lekat-lekat gerak bibirnya waktu dia menjawab ulang pertanyaan saya. “Papaku meninggal..” ucapnya lirih hampir tidak terdengar.


Saya terdiam beberapa detik, bingung sejadi-jadinya harus bersikap seperti apa. Apakah saya harus menunjukkan rasa simpati dan menunjukkan bahwa saya turut bersedih? Bagaimana cara melakukannya? Ataukah cukup mengucapkan turut berduka cita dengan ekspresi wajah yang flat ini? Ini pertama kalinya saya menghadapi langsung seorang teman yang ditinggal meninggal orang tuanya. Saya benar-benar berpikir keras. Dalam hati saya benaran turun bersedih untuk Febra, namun saya tidak cukup sedih untuk bisa mengekspresikannya lewat mimik muka. Alhasil saya hanya menatap Febra dengan ekspresi yang (saya harap) menunjukkan rasa simpati, dan berharap hal itu dapat sedikit menghiburnya (walaupun saya tau tidak mungkin Febra terhibur pada saat seperti ini). Yang lain sama bingungnya dengan saya, kami hanya terdiam dan melihat Febra yang terus mengemasi barang-barangnya. Tidak sepatah katapun keluar, bahkan sampai Febra pergi meninggalkan ruangan (dan tidak akan kembali lagi untuk hari ini). Barulah setelah dia pergi, kami menyadari benar-benar apa yang terjadi.


Seorang teman harus pergi mengantarkan orang tersayangnya meninggalkan dunia ini. Terpikirkan rasa sedihnya oleh kami semua. Seseorang pun menyeletuk ditengah-tengah kediaman kami, “Ga kebayang ya..nanti kita semua juga akan ada di posisi Febra,”. Semua mengangguk sambil tetap diam, lalu tidak berapa lama kami semua kembali ke laptop dalam kediaman yang lebih diam.


Comments

Popular Posts